Sebagai murid kelas 10 SMA Labschool Kebayoran, saya harus mengikuti banyak acara yang diselenggarakan oleh sekolah. Saya telah mengikuti mengikuti beberapa di antaranya, namun yang paling membekas di ingatan saya adalah acara Trip Observasi – mungkin karena acara itu baru saja berakhir. Acara Trip Observasi dimulai dengan acara Pra- Trip Observasi yang dimulai seminggu sebelum Trip Observasi. Menurut saya, Pra- Trip Observasi adalah bagian paling melelahkan karena saya harus menyiapkan banyak hal dalam waktu singkat.
Pertama-tama, kami harus membuat Name Tag yang rumit dan unik, dengan foto memalukan yang tampaknya bahkan tukang foto sekitar sudah tidak aneh lagi dengan segala keanehan Labschool. Lalu, kami harus mengecat tongkat TO. Kemudian, kami harus menyiapkan pengumpulan data untuk PDP. Kami juga harus bersiap-siap untuk acara Pentas Seni dan Lintas Budaya.
Di hari terakhir Pra-TO, ada acara Siaga Tongkat yang sebenarnya ingin saya ikuti, tetapi ketika lari pagi saya mengalami masalah dengan fisik saya dan akhirnya saya hanya bisa menonton dengan lemas dari pinggir. Sayangnya, masalah fisik tersebut tetap ada hingga saat Trip Observasi, sehingga agak mengganggu kegiatan saya. Di akhir Pra-TO, tongkat kami semua diambil. Saya panik dan langsung berlari ke lapangan hijau, dimana semua tongkat kami tergantung di gawang dan pagar. Yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah, cara para OSIS menggantung dan menata tongkat kami sungguh artistik, yang langsung saya ganti dengan pikiran panik. Ketika beberapa OSIS berdiri di atas gedung dan mesjid, yang pertama kali muncul di pikiran saya adalah “Astaghfirullah!!! Kakak itu mau bunuh diri!!!” sampai akhirnya saya sadar mereka memegang tongkat kami (yang ternyata bukan. Itu ternyata tongkat buatan OSIS untuk adegan tersebut) dan mematahkannya jadi dua serta melemparnya ke tanah. Saya dan murid-murid lain panik dan saya sendiri hanya bisa menjerit-jerit sambil berlarian dari satu tongkat ke tongkat lainnya. Meski pengalaman itu lumayan mengerikan, saya jadi bisa belajar beberapa hal, dan pengalaman tersebut sebenarnya sangat menarik.
Setelah Pra- Trip Observasi, saya dan seluruh angkatan 11 SMA Labschool Kebayoran akhirnya mengunjungi desa Parakan Ceuri, Purwakarta untuk menyelanggaran Trip Observasi dari tanggal 20 September hingga tanggal 24 September. Pada dasarnya, acara Trip Observasi adalah acara selama 5 hari tinggal bersama penduduk desa sambil mengumpulkan data penelitian, ditambah dengan berbagai macam acara untuk melatih mental dan fisik.
Pada hari pertama Trip Observasi, kami berangkat menggunakan beberapa bis. Pengemudi bis yang saya naiki memutarkan lagu dangdut sepanjang perjalanan. Beberapa lagu dangdut yang diputarkan akhirnya menjadi bahan obrolan dan tertawaan kami. Saya berpikir, mungkin, pemutaran lagu dangdut tersebut adalah langkah awal yang disiapkan untuk kami untuk lebih menyatu dengan desa tujuan kami. Saya tertidur hampir sepanjang perjalanan, namun saya terjaga saat kami hampir sampai. Mungkin barisan bis adalah hal yang jarang terjadi di desa Parakan Ceuri dan sekitarnya, karena di sepanjang perjalanan dekat desa tersebut hampir semua orang di pinggir jalan, dewasa dan anak-anak menatap bis kami dengan penasaran.
Meski sebenarnya ada jalanan beraspal hingga ke dalam desa Parakan Ceuri, kami sengaja diturunkan agak jauh dari tujuan dan karenanya kami harus berjalan cukup jauh melewati sawah. Banyak yang kurang biasa berjalan di jalan-jalan sawah yang kecil dan licin dan terjatuh. Untungnya, meski saya memiliki keseimbangan yang tidak terlalu baik, saya tidak sampai terperosok karena saya terus berpegangan dengan tongkat TO saya.
Kami disambut cukup baik di desa Parakan Ceuri. Kepala keluarga yang rumahnya saya tumpangi, Pak Dayat, adalah seorang tukang kayu yang meski sudah tua tetap terlihat kuat. Rumah yang kami tumpangi sebenarnya bukan rumah yang ditinggali Pak Dayat. Pak dayat dan istrinya tinggal di daerah lain, sementara rumah yang saya dan kelompok saya tumpangi adalah rumah kedua yang hanya kadang-kadang saja dikunjungi. Saya cukup terkejut karena saya saja tidak memiliki villa, tetapi penduduk desa Parakan Ceuri punya!
Rumah tersebut memiliki satu ruang utama dan 3 kamar kecil di sampingnya dan 2 diantaranya digunakan oleh Pak Dayat dan anak cucunya. Di ruang utama tersebutlah seluruh aktivitas kelompok 27 berlangsung, mulai dari mempersiapkan tidur, makan, sampai menyiapkan presentasi. Ruangan itu memang tidak terlalu luas, tetapi untungnya tidak ada perabot lain kecuali 2 buah kursi. Di belakang rumah terdapat sebuah dapur yang menggunakan tungku. Untungnya, kamar mandi umum dekat dengan rumah keluarga Pak Dayat, atau lebih tepatnya tepat di samping dapur, sehingga kami tidak mengalami kesulitan dalam hal Mandi Cuci Kakus.
Kemudian, kami harus mengumpulkan data untuk penelitian. Diputuskan, saya akan jaga rumah pertama. Ketika teman-teman sekelompok saya pergi mewawancarai penduduk desa, saya mencuci piring dan merapikan rumah. Tempat mencuci piring ada di luar, dengan air yang mengalir langsung dari gunung. Mencuci piring di Parakan Ceuri merupakan tantangan tersendiri karena saya harus terus berjongkok sambil mencuci, air yang dingin, dan ayam-ayam yang dibiarkan lepas terus mendekati saya dan memakan sisa nasi di piring kotor. Teman-teman kelompok saya kembali tak lama kemudian, dan kami bersama-sama menyiapkan presentasi.
Saat waktunya Shalat Maghrib dan Isya, saya mendapat bagian jaga rumah lagi karena saat itu saya sedang berhalangan dan saya punya beberapa pengalaman memasak. Saat memasak nasi, sesuai saran Ibu keluarga asuh saya, saya menggunakan tungku atau hawu dalam bahasa Sunda. Ibu keluarga asuh saya menunjukkan saya bagaimana caranya. Beliau juga membantu saya memasak lauk, tetapi agak sulit karena beliau kurang bisa berbahasa Indonesia dan saya sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda. Saya dan seorang teman sekelompok saya memutuskan untuk masak mi instan karena kami belum membeli bahan makanan. Karena waktu shalat yang ternyata tidak cocok dengan jadwal, kami memasak terlalu cepat dan ketika yang lain kembali mi instan tersebut sudah mekar dan sejujurnya, agak menjijikan. Tetapi karena semuanya lapar setelah banyaknya aktivitas, kami menghabiskan makanannya.
Saat itu, saya mengetahui budaya lain dari desa Parakan Ceuri, yaitu anak-anaknya yang mengaji dan menyanyi sambil menunggu Isya. Saya cukup terhibur dengan nyanyian semangat anak-anak desa tersebut. Setelah itu, seharusnya kami mengadakan pentas seni. Tapi, sebelum saya menuju ke tempat pentas seni, saya memberanikan diri untuk menyampaikan surat cinta untuk Kak Dimitri. Isi surat saya adalah kutipan dari drama karya Shakespeare dan sehalaman penuh gombalan. Saya juga sedikit menggombal saat memberikan suratnya. Kak Dimitri memberikan sebatang coklat Toblerone untuk surat cinta tersebut.
Pada malam harinya, kami membagi jam jaga vendel. Para perempuan akan menjaga pertama, dari jam 10 malam hingga jam 12 malam, dan kemudian dilanjutkan dengan shift laki-laki hingga jam 2 pagi. Jaga vendel adalah membuat tower atau menara dari tongkat-tongkat dengan tongkat ketua dan vendel di atasnya. Para OSIS akan datang dan menyinari vendel dengan beberapa warna yang harus kami balas dengan warna yang sama. Kami meminum kopi dan susu coklat, juga memakan coklat dari Kak Dimitri saat menjaga vendel. Selama 2 jam, saya duduk tegak menatap vendel tanpa henti lewat jendela rumah. Karena jalanan di depan rumah saya sempit, tower tongkat dan vendel kami menutupi seluruh jalan. Karena itu, kami sangat tegang tiap kali ada peronda atau kucing yang melewati tower kami. Jaga vendel hari pertama berlangsung cukup lancar, dan menurut saya itu adalah pengalaman yang sangat menarik, meski membangunkan laki-laki di kelompok kami lumayan sulit. Namun sayangnya, tiba-tiba tower vendel kami ambruk sekitar pukul 2. Saya terbangun dengan sangat kaget karena suaranya yang lantang, namun seseorang yang saya tidak kenali suaranya menyuruh kami tetap tidur. Keesokan harinya, kami mendapat kedua pita kuning dan hijau untuk jaga vendel hari pertama.
Pada hari kedua, kami bersiap-siap untuk acara Peduli Kehidupan Desa (PKD). Saya mendapat tugas mengajar di SD setempat, namun acara mengajar ditunda hingga keesokan harinya. Karena itu, saya kembali ke rumah dan membantu yang lainnya menyiapkan presentasi dan komik PKD. Meski Pak Dayat adalah seorang tukang kayu, hari itu beliau berencana membetulkan dan menambah saluran air desa. Kami membantunya, namun saluran air baru tersebut gagal mengalirkan air. Setelah diperbaiki ulang oleh Pak Dayat, akhirnya kami berhasil menambah saluran air yang lebih deras ke kamar mandi umum. Setelah itu, kami melakukan presentasi PDP dan lintas budaya.
Pada hari ketiga, saya akhirnya mendapatkan kesempatan mengajar di SD setempat. Menjadi guru sduah merupakan mimpi saya sejak saya masih kecil, karena itu saya sangat bersemangat mengikuti kegiatan ini. Pada awalnya, saya bingung harus mengajar apa, karena itu saya mengajak murid-murid kelas 5 SD tersebut menyanyikan lagu wajib. Ketika saya bertanya lagu wajib apa yang ingin mereka nyanyikan, mereka semua kompak menjawab “Ayu Ting-Ting kak!!!”. Setelah beberapa menit meyakinkan bahwa lagu Alamat Palsu bukan lagu wajib, mereka akhirnya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib lainnya. Mereka menyanyikannya dengan amat sangat penuh semangat sampai saya sendiri kaget. Setelah itu, mereka tampaknya ingin mengerjai saya dan teman-teman saya, karena mereka minta belajar bahasa Sunda. Tidak ada yang bisa berbahasa Sunda diantara saya dan teman mengajar saya, jadi kami sangat kebingungan saat itu. Akhirnya kami bermain permainan kecil dan mengajar sedikit bahasa Inggris, meski sebenarnya saya tergoda untuk membalas mereka dengan mengajar logaritma. Kami juga mengajar sedikit bahasa Jepang yang langsung dapat mereka pelajari dengan mudah, padahal saya saja butuh waktu satu minggu untuk menghapalkan satu sampai sepuluh dalam bahasa Jepang.
Pada hari keempat, ada acara yang saya tunggu-tunggu, yaitu Penjelajahan. Sayangnya, medical check-up pada hari sebelumnya menyatakan bahwa saya tidak boleh mengikuti acara tersebut oleh karena fisik saya yang kurang kuat. Akhirnya saya dan Khansa dari kelompok 1 yang juga tidak mengikuti Penjelajahan mengadakan Penjelajahan kami sendiri mengelilingi desa. Meski pastinya tidak seseru Penjelajahan yang sebenarnya, lumayan untuk menghabiskan waktu. Saya juga mengunjungi kelompok-kelompok lain. Saya dan satu teman sekelompok teman saya yang juga tidak mengikuti Penjelajahan memutuskan untuk makan siang dengan Pop Mie untuk menyamai teman-teman yang sedang ikut penjelajahan.
Pada malam harinya, ada acara api unggun. Sejujurnya, saya tidak pernah menyukai acara api unggun karena saya memiliki ketakutan tersendiri terhadap api. Akhirnya saya mundur dan menonton yang lain dari belakang. Dari kejauhan di tempat saya merasa aman dari api, saya dalam hati merasa itu adalah malam yang sangat indah.
Akhirnya hari terakhir Trip Observasi datang juga. Meski di hari-hari pertama Trip Observasi saya terus-menerus merasa kangen rumah dan ingin cepat selesai, saya merasa sangat sedih ketika akan meninggalkan kampung Parakan Ceuri. Sampai sekarang, saya masih dapat mengingat saat-saat kami menyanyi bersama, saat-saat kami makan dengan lauk minimum, dan kilasan-kilasan kenangan saat saya bersama teman-teman saya merasakan berbagai kebersamaan dalam pengalaman baru. Oh TO seru sekali buset aku tak mau pulaaang uouo TO bikin nagih ououo Pingin TO lagi ouo……
(Maafkan keterbatasan foto saya)
Bersama teman-teman kelompok 27: Hela Rotane dan orangtua asuh
0 comments:
Post a Comment