Kelompok 13 - Suwe Ora Jamu
13. Angka sial.
Siang hari yang normal dan matahari yang sama panasnya membuat saya merasa jenuh, bosan, dan tidak bersemangat hari itu. Saya melihat kawan-kawan saya mulai ribut membicarakan kelompok Trip Observasi mereka, yang dipajang di papan sketsel di lantai satu. Papan pengumuman masih sepi karena papan itu dipajang pada jam pelajaran, namun kelas saya yang sedang dalam jam bebas memungkinkan kawan-kawan sekelas saya turun ke bawah dan memeriksa nama mereka di antara ratusan nama lain yang tertera di atas beberapa lembar kertas sederhana itu.
Akhirnya saya memutuskan bahwa tidak ada salahnya turun sebentar dan mengetahui apa yang perlu diketahui. Ketika saya menemukan nama saya berada diantara nama-nama calon teman sekelompok saya, rasanya biasa-biasa saja. Entah karena saya sedang setengah mengantuk atau memang karena kenyataannya tidak ada sesuatu yang mengejutkan dalam kelompok saya. Pertama-tama, nomor kelompoknya 13. Membacanya, saya menyeringai kecil—angka sial. Kemudian beralih pada anggota kelompoknya, tidak ada satu pun yang sudah saya kenal dengan baik. Saya merasa nyaman dengan kelompok saya, tapi waktu itu saya pikir tidak ada yang istimewa. Saat itu saya hanya mengangguk dan kembali ke kelas.
Tapi saya seketika menyadari, angka 13 adalah angka keberuntungan saya.
13, adalah jalan yang saya lewati menuju diri saya hari ini.
Ketua kelompok saya adalah Jako Aprilio, sementara anggota kelompok saya yang lainnya adalah Jasmine Tiara, Rafi Helmi (yang biasa dipanggil BG), Reni Samara, Ghifari Ihwan Taher atau Egi, Fitry Asshiyami, dan yang terakhir, Abdul Kariim. Sedangkan PDP untuk kelompok kami adalah Kak Gevin dan Kak Bella Ratna. Dan sampai detik ini, kadang-kadang saya masih merasa seolah saya terbangun di rumah kelompok kami di Kampung Parakan Ceuri bersama mereka semua pada pagi hari.
Saya mulai mengenal mereka dengan lebih baik sejak acara briefing TO dan pengecatan tongkat. Ketika itu saya mulai berpikir, ini tidak terlalu buruk. Atau sepertinya, saya rasa lebih terdengar seperti, ini hebat sekali. Sejak awal pengecatan tongkat, seharusnya saya sudah menyadari tentang kecenderungan Karim membuat gara-gara. Pengecatan tongkat hari pertama kami berjalan agak lambat, karena saya, Reni, dan Egi tidak bisa berhenti tertawa karena ulah Karim. Ia merusak cat di tongkatnya dan kami semua sibuk membantu, sementara dengan wajah babyface polosnya ia hanya berkata dengan santai: “Udahlah, nggak masuk nilai rapot juga.” Bagaimana dengan sebagian lain yang mengerjakan nametag? Lumayan sukses, dan belakangan saya tahu itu karena Karim tidak ada di dalam sana!
bersama Jasmine Tiara
Hari kedua pengecatan tongkat, kami memutuskan Karim bertukar tugas dengan Jako. Terbukti tugas kami akhirnya selesai, tapi justru nametag kami belum selesai. Kami bekerja keras—walaupun tetap diselingi tawa—karena tingkah-tingkah memancing tawa di sekitar kami, terutama karena ulah Karim. Saat acara memasak bersama kelompok, Karim meminta pisau dari kami, tapi kami melarangnya. Beberapa saat kemudian, Jako sedang sibuk dan nyaris saja memberikan pisau itu kepada Karim, tapi Kak Gevin sempat memperingatkan dan berteriak, “Jangan dikasih ke Karim!” kami semua ikut heboh, dan akhirnya tertawa menyadari betapa konyolnya kami saat itu.
Seperti cerita-cerita lainnya tentang Trip Observasi, semua bermulai dari Pra TO. Dua hari cukup membuat kami saling terikat. Bagaimana tidak, semua kegiatan Pra TO memang telah dirancang untuk menyatukan kami semua. Hampir setiap anggota dalam kelompok kami bekerja dengan maksimal, yang otomatis mempermudah pekerjaan kami. Guru pembina kelompok kami, Pak Dodhi, juga banyak membantu. Dan sebuah catatan, kelompok saya tidak pernah sepi. Kelompok saya, sejak awal pertama, gila.
Kenangan Pra TO masih lekat di ingatan saya. Ancungan jempol untuk ketua kelompok saya yang terus memastikan kelompok kami terkoordinasi dengan baik—karena sepanjang Pra TO, kami berhasil melalui segala macam tes. Presentasi makalah, sukses. Memasak, sukses. Kedisiplinan kelompok, sukses. Kekompakan, tentu saja. Yang paling tidak mungkin saya lupakan adalah audisi pentas seni.
Kelompok kami mendapat jatah penampilan parodi Silet. Hebatnya, kami baru merencanakan penampilan kami satu-dua jam sebelum penampilan. Kami berlatih di mesjid dan ditonton oleh Kak Bella dan Kak Gevin. Saya tertawa melihat Mimin (Jasmine) menjadi Syahrini yang bernyanyi bersama ‘suami’-nya, yaitu BG. Saya juga tertawa melihat aksi Karim yang menjadi Ivan Gunawan. Tapi lagi-lagi… bintangnya adalah Karim. Kak Bella, Kak Gevin, dan kami semua terbahak-bahak melihat Karim. Saat latihan, tugas Karim adalah untuk berakting marah pada akhir drama, dan yang dilakukannya adalah menendang kursi hingga melayang. Sampai melayang. Dan semua orang yang ada di aula mesjid langsung menatap kearah kelompok kami, tapi kami tidak peduli. Kami semua terlalu sibuk tertawa!
Lalu, showtime. Satu-satunya yang saya takutkan adalah drama kami menjadi garing alias tidak lucu, tapi ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Dalam ukuran saya pribadi, drama kami suskes berat. Sayangnya Kak Bella dan Kak Gevin tidak ada di sana untuk menonton audisi kami.
Jalan cerita agak melenceng dari rencana. Lebih kacau. Karim membuat kehancuran sejak awal sampai akhir, dan sebagai penutup, ia menendang kursi bench di hall olahraga yang sangat besar dan berat sampai berbunyi sangat keras dan melayang. Semua orang di aula tertawa keras, bahkan anggota kelompok 13 yang lain harus berusaha keras agar tidak ikut tertawa. Kelihatannya kami cukup menghibur.
Di penghujung Pra TO, nama angkatan kami dibentuk. Dasa Eka Cakra Bayangkara, Dasecakra—angkatan 11 yang menjaga keseimbangan roda kehidupan. Mulai hari itu, kami adalah sebuah kesatuan. Saya bisa merasakan dampak diberikannya nama angkatan terhadap kekompakan angkatan kami. Ketua angkatan kami adalah Bayu, Maga, dan Abon.
Tak disangka-sangka, kelompok kami lolos audisi pentas seni. Artinya kami akan tampil kembali di acara TO.
***
berfoto bersama sebelum pentas seni
20 Oktober 2011. Saat struktur memori saya berubah untuk selamanya.
Saya duduk bersama Reni di bus; sebuah bus tanpa AC. Di kursi sebelah kami adalah Mimin dan Dhanti. Di belakang, para laki-laki mulai berisik dan merusuh, tapi setelah beberapa lama, mereka lelah juga dan akhirnya jatuh tertidur. Saya dan Reni tidak bisa tidur sampai kami tiba di Purwakarta.
Tiba di tempat tujuan, kami masih harus berjalan jauh menyusuri hutan dan sawah untuk mencapai desa Parakan Ceuri. Banyak tanjakan dan turunan yang kami lewati, dan Jako sibuk berkata, “Awas BG sama Karim jangan sampe gelinding nanti yang lain ikutan jatuh!”
Pemandangannya benar-benar bagus. Saya dan Mimin memotret banyak sekali foto, lalu kami ingat Mimin tidak membawa charger. Kami langsung mematikan kamera dan menyimpannya. Kemudian kami tiba di sebuah lapangan besar, lapangan yang mendandakan kami sudah sampai di Kampung Parakan Ceuri. Kami hanya diberikan pengarahan sebentar, kemudian kami dipersilakan menempati rumah masing-masing. Rumah yang kami tempati adalah rumah keluarga Pak Ato dan Bu Nyai. Rumah itu berupa sebuah rumah panggung bercat putih yang sangat bersih, rapi, nyaman, dan sangat pewe. Jaraknya sangat dekat dengan lapangan utama, warung, dan rumah-rumah lainnya.
Sebelum meregangkan otot di rumah Pak Ato, sebelumnya kami harus bekerja keras mengangkat barang bawaan dari sebuah tempat jauh di bawah. Kami harus membawanya ke rumah kami yang jauh di atas tanjakan, namun rasanya lega setelah tugas itu selesai. Kami mulai berbincang dan mendiskusikan tugas-tugas TO yang banyak sekali.
Bisa dibilang hari tersibuk di TO hanyalah hari pertama dan hari kedua, karena tiga hari setelahnya segalanya sangat santai dan banyak sekali waktu kosong, hampir tidak ada pekerjaan. TO jauh lebih santai daripada Pra TO, tapi dalam Pra TO kami memang dipersiapkan agar tangguh menghadapi segala macam rintangan.
Saya dan Mimin banyak tinggal di rumah. Kami membereskan barang dan memasak. Reni juga banyak tinggal bersama kami, tetapi ia juga senang berjalan-jalan ke rumah-rumah lainnya. Sementara Jako, BG, Karim, dan Egi melakukan pekerjaan seperti pergi ke sawah. Pemilik rumah kami, Pak Ato, memiliki dua rumah. Ia meninggali rumahnya yang satu, sementara rumah yang kami tempati serasa milik sendiri karena Pak Ato hanya sesekali mendatangi rumah kami untuk memasak. Saya bersyukur rumah kami sangat nyaman, kamar mandinya cukup bagus dan dapurnya kondusif.
Dan kelompok saya, kelompok 13, adalah kelompok yang sangat beruntung. Pak Dodhi membawa laptop, iPod, dan gitar yang bisa kami gunakan kapan saja. Kami selalu mendapatkan musik pengiring tidur dari iPod Pak Dodhi setiap malam, dan kami terkadang menggunakan laptop Pak Dodhi. Dan gitar tidak pernah menganggur. Rumah kami tidak pernah sepi dari musik. Pak Dodhi sendiri adalah guru musik. Kemudian BG, Jako, Egi, saya, dan Reni sering menggunakan gitar. Karim dan Pak Dodhi memiliki musisi kesukaan yang sama, yaitu Yanni—dan pengetahuan musik Karim luar biasa. Mimin? Suara merdu Mimin selalu mengiringi gitar yang kami mainkan. Pernah suatu malam ada banyak laron sehingga kami harus mematikan lampu. Kami berkumpul di ruang tengah hanya dengan sebuah senter di tengah ruangan, sementara Jako bermain gitar dan kami saling berbagi cerita.
Rumah kami juga tidak pernah sepi karena banyak tamu, mulai dari Kak Dilla Awaluddin yang seding bergabung bersama kami, Kak Bella, dan Kak Gevin; sampai kakak mansis dari Nawastra juga teman-teman kami sendiri dari Dasecakra. Salah satu magnetnya mungkin Pak Dodhi karena ia bisa melakukan sulap, hipnotis, dan perencanaan pementasan di pentas seni. Angkatan kami adalah angkatan pertama yang kelas 10-nya menampilakn pentas seni dalam TO.
Oh ya, kami di rumah sepakat—atau sebenarnya ini pendapat Karim—bahwa ‘mama’ di rumah kami adalah Mimin dan ‘papa’-nya adalah Jako. Bukan karena apa-apa, tapi Mimin sangat keibuan dan sangat ‘wanita’, sementara Jako sebagai ketua kelompok selalu mengerjakan tugas-tugas yang berat dan menyusahkan. Tapi kami semua di Kelompok 13 adalah saksinya: TO berhasil merubah sifat Karim secara langsung. Ia tidak mudah lepas kontrol karena emosi lagi; ia senang membantu dan selalu membuat kami berhasil di saat-saat krusial seperti misalnya saat pentas seni.
Pada malam di hari pertama TO, kami mendapat tugas yang sangat mendebarkan, yaitu jaga vendel. Kami secara bergilir harus berjaga dan membalas sinyal senter warna dari kakak OSIS. Giliran jaga shift pertama malam itu adalah giliran saya dan Mimin, sementara shift kedua adalah tugas BG dan Jako. Saya dan Mimin berdebar-debar, tapi lama kelamaan kami merileks. Semula para laki-laki yang tidur di ruang tengah tidak bisa tidur, mereka sangat ribut—termasuk juga Pak Dodhi yang terus berbagi curhat dengan yang lainnya. iPod Pak Dodhi terus menyala sampai akhirnya mereka tertidur. Lucunya, sebelum tidur Karim sempat meminta maaf pada kami semua karena ia buang gas, dan bunyinya keras sekali. Saya dan Mimin sedikit terkecoh karena para laki-laki mulai mengorok. Satu-satunya yang tidur dengan tenang hanya BG, tapi saya dan Mimin merasa kasihan karena seseorang mengorok jika kelelahan.
bersama Jasmine Tiara dan Reni Samara
Saya dan Mimin terus menerus bergosip sambil berbisik dan memakan cokelat, walaupun Karim sudah mengingatkan cokelat mengandung sugar rush yang akan membuat kita berenergi selama sesaat kemudian menjadi lemas setelahnya. Ya, Karim memang bisa menjadi Google berjalan kadang-kadang. Tanpa sadar, pada jam sebelas lebih, kakak OSIS lewat dan menyalakan senter. Kami agak panik dan takut salah, tapi nyatanya kami berhasil membalas sinyal dengan baik. Setelahnya kakak OSIS tidak datang lagi sampai shift kami berakhir. Kami tidak tega membangunkan BG dan Jako awalnya, jadi kami meneruskan giliran jaga kami sampai pukul setengah satu lebih. Lalu kami membangunkan mereka dan gantian kami yang tidur di salah satu kamar di rumah.
Keesokan harinya, kami mengetahui bahwa BG dan Jako dianggap ketiduran. Mereka yakin sekali mereka tidak tertidur, tetapi kami menerimanya saja. Pita hijau kami juga terhitung banyak dalam hari pertama, yaitu 5 pita hijau dan 1 pita kuning (karena Karim lupa membawa tongkat saat pergi). Kami pun terus berusaha mendapatkan pita hijau dari surat cinta. Walaupun pita tidak berpengaruh apa-apa, tapi kami mereka membuat kami lebih bersemangat. Yah, walaupun keesokan harinya lagi, Egi dan Karim juga ketiduran.
Intinya, dua hari pertama adalah hari yang sangat sibuk, lalu hari ketiga, antiklimaks. Bisa dibilang segalanya berjalan sesantai yang kita mau. Di penghujung hari kedua, kami mementaskan drama Silet kami. Lagi-lagi sukses karena Karim (dan kami semua!). Kami mengubah jalan ceritanya, setiap segmen acara diselingi iklan. Iklan pertama, Tori-Tori yang dimainkan oleh BG dan Karim. Lalu iklan kedua, Sozzis, lagi-lagi Karim dan BG (“Buka bungkusnya, buang sosisnya, enak kan?”). Dan yang terakhir, iklan Sozzis dimana Karim marah pada BG karena sosisnya ‘dicuri’. Saat Karim marah, ia berakting luar biasa di atas panggung, dan sebagai penutup, ia mengguncang pilar panggung sampai panggung bergoyang! Semua orang histeris, antara tertawa terbahak-bahak sekaligus ngeri.
Tiga hari berikutnya yang banyak saya ingat adalah saat-saat kebersamaan kelompok. Suatu hari, Karim bercerita pada kami tentang suatu rahasianya, dan hebatnya, kisahnya seperti di film-film. Ia merasa bahagia seharian dan kebahagiaannya menular pada kami semua. Pokoknya, super unyu. Yang lucu, Karim bercerita pada kami dalam Bahasa Inggris diiringi bunyi gitar Pak Dodhi di suatu hari yang hujan. Kami melingkar dan mendengarkan cerita Karim—yang entah bagaimana sesuai dengan gitar Pak Dodhi. Rasanya seperti sedang dalam serial Glee. Ah, salah satu yang paling saya rindukan dalam kelompok saya adalah obrolan-obrolan gosip, curcol, galauan, dan cerita-cerita unyu kami. Kak Bella dan Kak Gevin ikut dalam saat-saat seperti itu. Juga Pak Dodhi, yang selalu memberikan opini-opini dan nasihat-nasihatnya tentang setiap hal yang kami bicarakan. Ini mungkin kedengaran aneh, tapi saya pikir kelebihan kelompok saya yang sangat saya sayangi dan banggakan, adalah betapa unyu-nya kelompok kami.
Hari terakhir, penjelajahan. Saya dan Reni tidak lolos medical check, sedihnya. Karim juga tidak ikut karena kakinya terluka. Mimin juga tidak ikut, karena tiba-tiba di pagi harinya, ia muntah-muntah. Maka, saat yang lain pergi penjelajahan, kami bertiga (minus Karim) berniat membuat masakan yang ‘wah’ untuk hari itu. Kami memutuskan membuat sup ayam, ayam goreng, tempe spesial, Milo, dan nasi goreng. Setelah 3 jam lebih memasak, makanan kami berhasil. Mereka yang pergi penjelajahan pun akhirnya kembali ke rumah. Dan yang paling menyesakkan, saat BG tiba dan masakan kami baru selesai, BG langsung berkata, “Eh, bikinin gue indomie dong.”
Mimin, saya, dan Reni langsung saling tatap. BG menyeringai saja. Akhirnya kami memaksa BG mencoba sup ayam kami, dan apa katanya? “Bumbunya cuman garam doang ya?”
Asdfghjkl—
Kami bertiga akhirnya memutuskan membiarkan BG dan kata-katanya. Buktinya semua orang, mulai dari Egi sampai Kak Bella dan Kak Gevin, setuju bahwa supnya enak. Lidah BG sedikit bermasalah rupanya. Bicara soal makanan, makanan kelompok kami alhamdulilah tidak pernah tidak enak. Entah karena kami menikmati waktu makan bersama atau memang makanannya enak, tapi kami selalu menyukai waktu makan. Kami selalu membuat cokelat panas Milo di pagi hari yang selalu habis tidak bersisa, dan hal-hal sederhana semacam itu.
Pada malam terakhir sebelum kepulangan adalah acara api unggun. Acara itu emosional. Semua orang bernyanyi dan hari itu rasanya kami semua, Dasecakra, dan kakak-kakak OSIS adalah satu. Kebersamaan sangat terasa dan tiba-tiba untuk pertama kalinya saya menyadari saya tidak ingin pulang. Saya ingin tetap di Purwakarta bersama Kelompok 13. Saya tidak ingin pulang karena saya ingin terus menantang masalah-masalah dan kegilaan-kegilaan di Purwakarta. Saya hanya tidak ingin ini semua berakhir.
Tapi kami harus pulang. Kami semua jauh lebih tenang di dalam bus saat kami pulang. Mungkin kami menyadari ada banyak sifat-sifat buruk yang sudah berubah dan tertinggal di Purwakarta. Atau mungkin, pikiran kami masih tertinggal di setiap rumah yang kami tinggali bersama kelompok-kelompok kami.
Semuanya berakhir setelah saya mengucapkan selamat tinggal pada Mimin—yang duduk di samping saya di bus—dan Reni yang duduk di depan kami. Saya kembali ke rumah dengan setengah diri saya, karena sebagian yang lain, mungkin, tidak akan pernah pergi meninggalkan rumah Kelompok 13 di Purwakarta untuk selamanya.
1 comments:
RinduuuðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜.
See you. Kami menunggu kalian datang kesini lagi ðŸ˜.
Kampung parakan ceuri. Purwakarta
Post a Comment