A. Merancang Mimpi
Pada awalnya tentu semua orang punya cita-cita yang lebih dari satu maupun dua, setidaknya mereka punya 3 cita-cita. Tetapi tentu saja, seiring berjalannya masa mereka menyadari ada hal yang membuat mereka tidak mungkin untuk mencapai semua cita-cita tersebut, hingga akhirnya mereka berpegang teguh pada satu atau dua cita-cita.
Begitupun dengan saya, dulu saya tidak terlalu memikirkan tentang cita-cita, karena saya berpikir “ah buat apa memikirkan yang kayak begituan, masih lama kok.” Tapi seiring bertambahnya umur, saya pun menghilangkan prinsip itu dan memulai memikirkan cita-cita, akhirnya mungkin sebab lingkungan yang menginginkannya, saya pun bercita-cita menjadi dokter.
Sama seperti orang biasanya, sebelum benar benar bercita cita menjadi dokter, saya pernah punya cita-cita lain,seperti saya pernah bercita cita menjadi psikolog karena tujuan sama dengan dokter, yaitu membantu orang hanya saja psikolog menyembuhkan mental sedangkan dokter menyembuhkan fisik, hingga sekarang pun sebenarnya masih ada keinginan menjadi seorang psikolog, tapi tekad untuk menjadi dokter jauh lebih kuat. Pernah juga saya berangan angan menjadi pembawa dakwah atau menjadi seorang udztad, karena menjadi seorang udztad adalah pekerjaan yang mulia karena meluruskan yang melenceng dari arah agama. Tapi karena satu hal dan lainnya saya memutuskan untuk mengubur impian tersebut karena saya sendiri pun belum bisa meluruskan diri sendiri. Sebelum membenarkan orang lain, tentu kita harus membenarkan diri sendiri.
Mungkin, impian saya ini termasuk salah satu impian yang paling “umum”, karena banyak sekali atau setidaknya paling banyak terlihat orang yang ingin menjadi dokter. Bisa kita lihat di dalam kelas pun setidaknya ada 4 sampai 5 orang atau bahkan lebih yang ingin menjadi dokter tidak melihat dalam bidang kedokteran apa yang mereka inginkan. Tapi, tidak semuanya bisa dan dapat menjadi dokter. Karena jika semua orang menjadi dokter, bagaimana dengan profesi lain?
Dulu ketika saya masih kecil, nenek saya berkata “ndri, kalau kamu sudah besar, kamu jadi dokter ya. Jadi kalau nenek atau kakek sakit, berobatnya bisa ke kamu” mungkin kalimat ini lah yang membuat saya bercita-cita menjadi dokter. Karena ketika saya masih kecil, semua sugesti dari orang yang lebih tua bagus ataupun jelek saya akan terima. Sekarang, walaupun sudah mengetahui segala rintangan yang harus dilalui untuk menjadi dokter, saya tetap bertekad menjadi dokter.
Mengapa saya ingin sekali menjadi seorang dokter? Karena saya pernah berjanji pada diri sendiri setidaknya sekali dalam seumur hidup menjadi seseorang yang berguna untuk keluarganya dan lingkungan sekitarnya, seperti pepatah islam “semulianya manusia adalah manusia yang berguna bagi sesamanya” Dan saya juga ingin sekali mengenal banyak orang, karena seperti yang kita tahu. Dokter pastinya memiliki pasien dan tentunya setiap pasien memiliki karakteristik dan watak yang berbeda.
Sekarang, saya pun bertekad menjadi seorang dokter, walaupun rintangan berat dan banyak sekali cobaan yang perlu dilewati demi mencapai impian, tapi dengan tekad yang kuat dan usaha yang semaksimal mungkin, saya yakin… “nothing is impossible”.
B. Target-Target Mewujudkan Mimpi
Tentu saja, seperti yang saya katakan di bagian sebelumnya, untuk mencapai impian saya untuk menjadi seorang dokter tersebut, ada langkah-langkah yang harus di lakukan terlebih dahulu. Tapi pertama-tama yang tentu saja harus dilakukan untuk menjadi dokter adalah saya harus bisa masuk kedalam sepuluh besar di kelas sepuluh ini.
Dan ketika kelas dua nanti, saya harus masuk IPA karena itu salah satu target menuju fakultas kedokteran. Walaupun sebenarnya masuk IPS pun masih ada kesempatan masuk karena sekarang lulusan kelas IPA dapat masuk ke jurusan kelas IPS dan begitu pula sebaliknya, tetapi kalau masuk kelas IPS tetapi ingin masuk fakultas kedokteran rasanya tantangannya cukup berat karena dua tahun belajar IPS dan harus IPA juga.
Tentu saja kalau saya masuk kelas IPA pun saya masih belum bisa bernafas lega, karena saya juga harus membuat prestasi tersendiri di kelas sepuluh dan/atau kelas sebelas karena siapa tahu dapat mempermudah saya untuk masuk ke universitas. Dan yang lebih penting lagi ketika saya kelas dua belas nanti. Saya harus lulus UN dan rangkaian ujian yang mengikutinya. Karena seseorang yang berprestasi sebanyak apapun tapi kalau tidak lulus SMA apa gunanya kan?
Setelah saya lulus dari SMA, saya ingin masuk ke salah satu fakultas kedokteran terkenal di Indonesia yaitu di Universitas Indonesia (UI). Jika mampu, saya berharap dapat masuk melalui jalur PMDK karena lebih mudah dan biasanya biayanya tidak terlalu tinggi, tetapi kalau tidak bisa, masuk melalui jalur tes pun saya masih tetap bersyukur karena sangat susah untuk masuk ke fakultas kedokteran UI tersebut. Bayangkan saja, dari ratusan ribuan orang yang mendaftar yang diterima hanya sekian ribu orang. Saya juga menginginkan dapat mengikuti program “Double degree” yang diadakan oleh UI, karena itu akan sangat membantu mengingat beberapa tahun yang akan datang akan ada AFTA yang membuat orang dapat bekerja diluar negeri. Saya juga berharap dapat lulus dalam waktu yang sepantasnya, jadi tidak menunda-nunda.
Akhirnya ketika saya berhasil lulus dari kuliah saya di fakultas kedokteran, saya masih belum bisa di bilang seorang dokter. Karena harus ada tes di suatu rumah sakit tertentu untuk menjadi seorang ko-asisten dokter atau ke panitraan klinik, tes ini dilakukan sebelum mendapat gelar dokter umum. Menurut buku yang saya pernah baca, menjadi seorang ko-asisten biasanya membutuhkan waktu 2 tahun, dan selalu berpindah ilmu-ilmu kedokterannya sesuai dengan jadwal yang ditentukan jadi tidak berfokus pada satu bidang kedokteran.
Dan akhirnya setelah saya mendapat gelar dokter umum, tentu saja saya akan bekerja dirumah sakit umum (saya masih belum menentukan bidang ilmu kedokterannya) dan saya yakin saya bisa bekerja di rumah sakit di luar negeri, mungkin sampai di rumah sakit yang terletak di negeri paman sam!
Sudah sukses dalam dunia kedokteran, saya pun mengundurkan diri atau pensiun dini dari bekerja di rumah sakit umum dan memulai praktek sendiri, saya juga ingin mengembangkan pengobatan alternatif dari hasil pengalaman dan ilmu saya semasa masih bekerja. karena saya tahu, tidak selamanya meminum obat dapat membuat kita sembuh. Dan saya yakin, teknologi akan selalu berkembang, maka dari itu, saya yakin dapat mengembangkan pengobatan alternatif. Sekarang pun juga ada pengobatan alternatif, seperti menggunakan alat musik untuk penyembuhan ada juga yang menggunakan nanoteknologi yang ramah lingkungan tentunya, dan yang terakhir yang saya tahu yaitu “sound healing”. Saya berharap dengan menemukan pengobatan alternatif ini, saya dapat mengharumkan nama saya,keluarga,dan bangsa ini di mata dunia.
Semua harapan ini tentu tidak bisa,tidak dapat, dan tidak akan berhasil jika tidak ada faktor-faktor tambahan. Beberapa faktor yang saya bicarakan adalah sebagai berikut:
Mengubah Pola Pikir dan Metode Belajar
Ini adalah hal yang pertama kali akan saya lakukan, metode belajar dan pola pikir seiring jenjang pendidikannya yang bertambah tinggi, harus dirubah minimal di revisi atau di modifikasi. Ini harus dilakukan untuk tetap “survive” di jenjang tersebut karena setiap jenjang pendidikan, tentu pola pikirnya harus berubah. Tidak mungkin kan kita menggunakan pola pikir dan metode belajar SD ketika di SMP? Karena bobotnya pun juga sudah berubah. Maka metode dan pola pikirnya pun harus diganti agar tidak “out of sync”.
Pendekatan Diri Kepada Tuhan
Kalau kita ingin sesuatu kepada orang tua, tentu kita pertama-tama kita mendekatkan diri kepada orang tua, berperilaku baik kepada orang tua kita agar orang tua mau memberikan apa yang kita mau. Begitu juga kita kepada Tuhan, kita mendekatkan diri kepada-Nya agar Ia mau mengabulkan permohonan kita, dalam hal ini pendekatan yang pertama kali akan saya lakukan adalah dengan membenarkan ibadah wajib saya seperti solat tepat waktu. Setelah ibadah wajib saya sudah benar, akan saya lanjutkan dengan ibadah sunnah, seperti solat sunnah qabliyah dan ba’diyah dan puasa senin kamis.
Restu Orang Tua dan Dukungan Teman-Teman dan Keluarga
Restu orang tua juga termasuk pendukung untuk mencapai sebuah impian. kalau orang tua tidak merestui, tentu impian tidak akan tercapai bukan? Dan juga dukungan keluarga dan teman-teman juga pendukung untuk penambah semangat untuk menggapai mimpi.
“Faktor X”
Faktor X adalah faktor yang ada diluar kendali kita, seperti misalnya ketika kita ingin pergi ke suatu tempat tetapi dibatalkan karena ban mobilnya kempes. Guru saya pernah berkata “sukses itu = Usaha: 25%,Faktor X: 75%” jadi faktor juga bisa dibilang sangat penting untuk menggapai mimpi.
0 comments:
Post a Comment