Sejarah. Saya lebih suka menyebutnya kisah-kisah dengan konflik, klimaks, dan jalan yang berbeda antar setiap orang. Dengan warna-warna berbeda yang dapat kita ciptakan sendiri.
Inilah mengapa sejarah begitu penting. Saya membuat kisah saya sendiri tepat setelah saya memulai satu kehidupan baru. Awal yang berbeda akan membuat banyak akhir, akhir yang berbeda masing-masing. Akhir yang melibatkan kita sebagai penentunya.
Saya akan mengawali autobiografi singkat 14 tahun hidup saya dengan satu kalimat dari filusuf Yunani kenamaan kesukaan saya, Plato:
“Mia kalí apófasi vasízetai sti gnósi kai óchi se arithmoús.”
Good knowledge is based on experience rather than numbers—ilmu yang baik berasal dari pengalaman dan bukannya angka. Sedikit informasi, kata-kata ini tidak saya salin dari internet atau buku melainkan dari ingatan saya dua tahun lalu setelah membaca sebuah buku mengenai Plato. Karena saya murni mengagumi Plato; dan itu sebabnya saya tidak akan lupa sekali saya mendengar kutipan itu. Yang ingin saya katakan, saya bukannya ingin dikagumi karena saya masih jauh dari kehebatan Plato—saya hanya berharap anda tidak akan melupakan bahwa ada seorang saya disini, diantara 7 milyar manusia di dunia, setelah anda membaca kisah singkat yang akan saya ceritakan ini.
Balita
Saya dilahirkan di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, pada tanggal 17 Maret 1997. Hari itu terjadi beberapa kali guncangan gempa sehingga ibu saya harus menunggu waktu operasi dengan hati yang berdebar-debar. Memang, di tengah-tengah operasi ternyata terjadi gempa yang langsung membuat ibu saya panik. Dokter memastikan gempa itu tidak akan membuat dampak yang membahayakan operasi. Para perawat segera memindahkan pasien-pasien termasuk ibu-ibu lain yang sedang menjalani operasi seperti ibu saya ke lantai dasar. Disanalah operasi dilanjutkan.
Ketika akhirnya saya keluar dari perut ibu saya, gempa sudah berhenti. Rambut saya keriting kecil seperti orang Irian, tetapi kulit saya warnanya putih sekali dengan rona merah di pipi saya. “Semua orang langsung rebutan mau gendong kamu,” begitu ibu saya bercerita. Dokter Azen Salim yang membantu persalinan ibu saya—setengah bercanda—menyarankan untuk memberi nama saya Gempawati. Tentu saja ibu saya menolaknya dan akhirnya ia memilih nama Nabilla Arsyafira atau biasa dipanggil Fira. Terkadang saya menganggap makna nama saya di mata kedua orang tua saya sedikit hiperbolis, namun hiperbolis tidak selalu berarti berlebihan. Tidak ada yang terlalu berlebihan untuk sebuah harapan dan harapan kedua orang tua saya berada dalam nama saya: wanita mulia yang cantik dan bersinar. Itu sebuah nama yang berat dan saya akan membutuhkan bertahun-tahun untuk mewujudkan nama itu bersama impian-impian saya.
Saya bayi yang tidak bisa diam. Saya tidak akan menggunakan kata hiperaktif, tapi saya memang menjurus ke arah itu. Bahkan dokter mengeluarkan saya dari perut ibu lebih cepat dari yang seharusnya karena menurut beliau, “Bayinya sudah stress.” Itu kenyataan. Saya tidak tahu apakah ini ada pengaruhnya karena ibu saya kerap kali memakan kepiting pasca kelahiran saya. Ia juga senang meminum kelapa, yang satu ini mungkin penyebab warna kulit saya yang saat itu berwarna terang.
Di usia 9 bulan saya mengucapkan kata pertama saya, yaitu, “Jatuh.” Saya mengucapkannya secara spontan saat nenek saya dari pihak ibu yang saya panggil Lola (artinya nenek dalam bahasa Tagalog karena putra pertamanya menikahi seorang Filipina) menjatuhkan sebuah saputangan ke lantai. Setelah itu saya langsung menjadi bayi yang ribut. Di usia sepuluh bulan, menurut keluarga saya, saya terus menerus bicara dan sudah menghafalkan satu kaset lagu seorang penyanyi cilik. Paman saya sering menyogok saya dengan makanan bayi kesukaan saya agar saya menyanyikan salah satu lagu dari kaset itu untuknya.
Setahun setelah kelahiran saya adalah masa yang agak sulit. 1998 adalah tahun terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Tawuran dimana-mana, rumah dan manusia dibakar tanpa rasa kasihan, toko-toko ditutup dan toko-toko dijarah. Orang tua saya sempat kebingungan mencari cara membelikan susu, makanan, dan kebutuhan bayi untuk saya karena diluar banyak orang-orang yang suka menyerang masyarakat yang tidak bersalah sehingga sangat berbahaya keadaannya. Untung saja adik ayah saya yang masih muda dan berani memiliki motor (bukannya mobil yang lebih riskan diserang) dan akhirnya ialah yang membelikan kebutuhan-kebutuhan untuk saya.
Di masa-masa ini juga ibu saya mencukur habis rambut keriting saya. Ia rajin mengeramasi saya dengan aloe vera. Ia juga rajin membasuh alis saya dengan cabai, yang katanya, secara tradisional dapat membuat alis menjadi tebal. “Dulu alis kamu tipis, hampir nggak ada alisnya.” Begitu cerita nenek buyut saya yang dulu tinggal di sebelah rumah saya. Memang sekarang alis saya menjadi tebal sekali, sampai terkadang saya ingin menipiskannya sedikit. Lalu rambut saya, setelah tumbuh lagi, akhirnya menjadi tidak lagi keriting melainkan lurus.
Saya memasuki playgroup di Harapan Ibu pada usia 3 tahun karena saya terlalu lama menjadi anak tunggal tanpa adik sementara ibu saya bekerja sehingga saya kesepian dan sering menangis. Bahkan setiap ibu saya pergi kerja saya sering muntah karena merasa sedih. Sebenarnya saya punya seorang adik laki-laki, tapi sayangnya ibu saya keguguran saat melahirkannya pada tahun 1999. Akhirnya setelah masuk playgroup saya lebih ceria dan ramai, juga aktif. Walaupun saya selalu diawasi seorang suster (namanya Suster Nafi, dia benar-benar perhatian), saya sering mendapat masalah. Setidaknya dua kali saya bertengkar dengan teman saya hingga bibir saya berdarah. Yang pertama karena bertengkar di ayunan dan yang kedua karena saya berebut tempat duduk di ruang komputer. Saya juga pernah tanpa alasan memukul teman laki-laki saya dengan mainan balok sampai ibu anak itu yang menjemputnya memarahi saya.
Kemudian di usia 4 sampai 5 tahun saya menghabiskan masa sekolah di taman kanak-kanak. Masih di tempat yang sama, Sekolah Harapan Ibu Pondok Pinang. Yang bisa saya ingat saat itu hanya bermain, bermain, dan bermain. Permainan-permainan anak-anak seperti berpura-pura menjadi putri, ibu dan anak, atau tokoh film. Saya masih sering bertengkar dengan teman perempuan—bahkan saya pernah membuat seorang teman menangis karena saya menasihatinya supaya tidak memilih-milih teman. Saya juga pernah menendang perut seorang teman laki-laki dan memutuskan seluruh kancing baju teman laki-laki lainnya karena mereka berdua berusaha memeluk saya. Di zaman-zaman TK, saya sangat cerewet dan senang mengobrol dengan guru maupun teman-teman. Saya selalu mengumumkan pada semua orang yang saya kenal bahwa saya ingin menjadi dokter anak atau presiden. Saya ingin menjadi dokter anak karena saya menyukai sensasi suntikan yang saya rasakan setiap melakukan imunisasi rutin dengan dokter yang menangani keluarga besar saya (berarti termasuk semua sepupu-sepupu saya), yaitu Dokter Purnamawati. Saya sangat mengidolakannya ketika itu.
Saya ingat di masa ini saya masih satu-satunya anak kesayangan di rumah, dan kedua orang tua juga paman-paman dan bibi-bibi saya yang jumlahnya banyak sekali selalu membelikan apa yang saya inginkan, walaupun saya pada dasarnya hanya menyukai kaset-kaset lagu anak-anak. Bagaimana tidak, di keluarga ibu, saya cucu ke-3 dan merupakan cucu perempuan pertama bagi mereka, sementara di keluarga ayah, saya cucu pertama yang mereka miliki. Pada tahun 2001, ibu saya melahirkan adik pertama saya yang bernama Naila Arrania. Saya tidak pernah merasa iri pada adik saya bahkan saya senang karena saya terlalu lama sendirian, meskipun kadang-kadang kami juga bertengkar karena hal sepele. Saya tidak merasa sendirian lagi apalagi setelah ibu saya memutuskan berhenti bekerja (dulu ia seorang dokter gigi).
Sekolah Dasar
Ayah dan ibu saya memutuskan untuk memasukkan saya ke SD Harapan Ibu. Sekolah ini nantinya akan menjadi sekolah saya selama 6 tahun ke depan sampai saya lulus SD. Di SD Harapan Ibu, saya masuk kelas 1E. Kedua orang tua saya mengantar saya ke sekolah di hari pertama. Ibu saya menunggui saya di depan pintu kelas dan terus menerus mengintip saya. Di kelas, saya terus menerus menanyakan ini dan itu pada guru kelas saya. Saya ingat saya sempat memamerkan ibu saya seorang dokter gigi, ayah saya seorang insinyur mesin, dan hal-hal tidak penting lainnya di depan kelas. Padahal kebanyakan teman-teman baru saya masih malu-malu. Lalu saya memamerkan cita-cita saya (lagi) di depan kelas. Guru saya, Bu Mulyati, tertawa saja. Prestasi saya di tahun pertama SD tidak buruk, saya mendapat peringkat 3 di semester pertama. Dan di semester kedua alhamdulillah saya mendapat peringkat pertama.
Pada tahun pertama sekolah dasar ini jugalah saya menemukan ketertarikan yang besar terhadap seni dan sastra. Sejak hari pertama saya dilahirkan, ayah saya selalu membacakan dongeng sebelum tidur. Klasik, memang, namun memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan kecerdasan. Tanpa disadari saya sering menuliskan cerita singkat di kertas sewaktu TK dan di masa SD saya mulai membaca novel juga menulis cerita-cerita pendek saya sendiri. Saya juga senang memberikan puisi-puisi buatan saya pada orang-orang yang saya kenal. Untuk seni, saya mulai mempelajari piano di kelas 1 SD, dengan ibu saya sebagai gurunya. Belakangan di masa SMP saya juga menikmati instrumen gitar. Saya memenangkan lomba presentasi Powerpoint di kelas 5 SD dan beberapa lomba design. Bagi saya masa SD sangatlah fundamental terhadap hasil apapun yang saya dapatkan hari ini.
Di kelas 4 SD, saya terpilih setelah lolos seleksi memasuki Kelas Unggulan. Kelas Unggulan adalah kelas D di setiap grade mulai kelas 4 sampai 6. Teman-teman sekelas yang akan saya miliki dari kelas 4 sampai kelas 6 tidak akan berubah. Kami semua berjumlah 21 orang, dengan 14 perempuan dan 13 laki-laki. Kebersamaan selama 3 tahun dengan teman-teman saya membuat saya sangat akrab dengan mereka semua dan ketika harus berpisah 3 tahun kemudian kami benar-benar sedih.
Banyak sekali kejadian konyol yang saya alami. Di sekolah, saya terkenal sebagai anak yang agak berantakan. Saya sering kali berjalan-jalan keliling sekolah, berlari-larian dengan teman-teman tanpa menggunakan sepatu ataupun kaus kaki. Banyak orang menggelengkan kepala karena ini. Guru saya pun sudah kehabisan cara menghentikan saya. Mereka berusaha menyita dan menyembunyikan sepatu saya selama beberapa waktu tapi saya tidak peduli walaupun saya harus pulang menggunakan sendal.
Di kelas 6, kami harus lebih fokus untuk memasuki SMP yang bagus. Guru kami bernama Pak Hardiyanta yang lebih suka mengeja namanya dengan ‘Hardiyanto’. Pak Hardi biasa kami sebut labil, karena sebenarnya ia suka melucu dan tertawa. Apalagi dengan kumis tebalnya yang tidak pernah ia cukur habis. Tapi ia bisa jadi sangat galak jika sedang memarahi kami. Satu kali pernah saya menangis karena ia menuding saya terlalu ‘merasa bisa’. Tapi setelahnya saya menyadari ia ada benarnya. Kelas 6 adalah masa yang paling tidak bisa dilupakan terutama karena setelahnya kami semua harus berpisah. Memang prestasi saya menurun di semester terakhir kelulusan, peringkat terburuk yang pernah saya raih di masa SD—yaitu peringkat 4—padahal selama 3 tahun di Kelas Unggulan, lima dari enam semester saya selalu mendapat peringkat pertama. Kecewa juga, apalagi jika saya ingat Pak Hardi pernah berkata, “Sayang sekali kamu, kamu gagal di akhir, padahal ini tahun SD yang paling penting.” Walaupun begitu saya berhasil meraih nilai UASBN total 28,35 dan berhasil diterima di SMP Labschool Kebayoran bersama 8 anak Kelas Unggulan lainnya. 8 dari 10 siswa SD Harapan Ibu yang diterima di SMP Labschool Kebayoran berasal dari kelas saya. Saya perlahan-lahan mulai mempersiapkan diri memasuki jenjang baru dalam hidup saya yaitu SMP.
Sekolah Menengah Pertama
Saya tidak pernah merencanakan untuk masuk ke Labschool. Itu sebabnya saya dibuat terkejut setelah saya bersekolah di tempat ini. Saya tidak menyangka Labschool sebagus ini. OSIS, kegiatan-kegiatannya, pembelajarannya, guru-gurunya... dan bahkan teman-temannya sangat menyenangkan. Beberapa orang bilang sekolah di Labschool susah dan melelahkan tapi tidak seperti itu. Mungkin karena prestasinya yang banyak SMP Labschool terkesan seperti ‘kutu buku’ atau semacamnya, tapi bagi saya, sekolah ini ‘gila’. Bagi saya, sekolah ini adalah sekolah terbaik dan lengkap tidak hanya secara akademis namun juga secara perilaku, sikap, kepemimpinan, dan lainnya—yang pernah saya temui.
Saya juga tidak menyangka saya masuk dalam daftar calon akselerasi, yaitu peringkat 1-50 dari seluruh peserta tes masuk Labschool. Setelah serangkaian tes dan pengamatan saya diterima di kelas akselerasi. Awalnya kelas kami sedikit sepi karena kami masing-masing sudah kompak dengan kelas yang sebelumnya, namun setelah beberapa bulan kami menjadi benar-benar kompak. Sedih sekali harus berpisah dengan mereka semua walaupun mayoritas akhirnya memasuki SMA yang sama dengan saya. Banyak pengalaman-pengalaman yang membuat saya selalu merindukan kelas saya, yaitu Firefox dan Hiero9liF setelah menjadi kelas 9. Masuk kelas akselerasi tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Kami tetap bersantai dan bersenang-senang. Tugas memang terkadang banyak, tapi hampir tidak terasa kecuali bulan-bulan terakhir menjelang UN. Saya sarankan jika anda mendapat kesempatan masuk kelas akselerasi pikirkanlah baik-baik karena anda akan menyesal jika menolaknya!
Saya tidak akan menceritakan pengalaman-pengalaman saya di masa ini karena banyak sekali kejadian yang menyenangkan. Salah satunya adalah menikmati Piala Dunia 2010 dengan teman-teman saya yang sejak saat itu membuat saya 100% sangat tergila-gila pada sepakbola (timnas Jerman, Real Madrid, Manchester United, Cristiano Ronaldo, Cesc Fabregas...) tapi satu hal masih hangat di pikiran saya: Problem Based Learning atau PBL, program khusus bagi siswa akselerasi. Presentasi setelah berbulan-bulan pengkajian makalah tentang tema yang kami pilih sendiri. Saat itu penguji saya adalah seorang redaktur majalah sastra Horizon dan saya tidak percaya setelah akhirnya beberapa puisi saya dimuat di majalah tersebut. Saya sedikit menyayangkan puisi saya dimuat di akhir masa SMP, padahal kepala sekolah sekaligus guru Bahasa Indonesia saya di tahun-tahun Aksel 1, Pak Ukim Komarudin, menjanjikan nilai rapot 95 bagi siapapun yang berhasil mempublikasikan karyanya di media. Akhir kelas 9 saya terpilih menjadi anggota panitia layout & design buku kenangan. Di SMP, saya tidak menjadi MPK karena menurut saya akan agak sulit membagi waktu untuk tugas sekolah di kelas aksel yang cukup banyak sekaligus tugas di organisasi.
Di penghujung masa SMP setelah 2 tahun singkat yang menyenangkan dengan angkatan Scavolendra Talvoreight #8 yang kompak dengan kelas akselerasi kami, saya lolos memasuki SMA Labschool Kebayoran lewat jalur khusus bersama 15 anak-anak dari kelas saya yang lainnya. Di SMA, kami akan kembali berusaha melakukan yang terbaik dengan daya juang kuat yang sama.
*
0 comments:
Post a Comment