Kala fajar menyingsing di kota metropolitan Jakarta pada hari Kamis, 14 November 1996, saya terlahir di Rumah Sakit Asih, Kebayoran Baru. Hasil perdebatan yang panjang antara Widjajono Partowidagdo dan Ninasapti Triaswati sebagai kedua orangtua menetapkan saya bernama Kristal Amalia.
Berdasarkan obrolan singkat bersama Ibunda belasan tahun setelah terjadinya momen tersebut, beliau berkata bahwa sebenarnya ia menginginkan nama Isabella untuk putri pertamanya. Saya sangat menyetujui ide beliau, maka sangat disayangkan dulu Ayahanda berkata lain. Akhirnya saya pun bertanya mengapa tidak mengambil jalan tengah dengan memberi saya nama Kristal Isabella Amalia saja? Namun pendapat mereka berkata bahwa nama yang proporsional cukup terdiri dari dua kata. Mendengar hal tersebut, saya spontan berniat untuk memberi anak saya sebuah nama yang terdiri dari 3 kata.
Sebagai jalan keluar dari kekalahannya dalam berdebat, Ibunda pun memanggil saya dengan nama "Ella" yang berasal dari kata "Isabella". Mendengar ide ini, Ayahanda pun tidak dapat berkutik dan turut memanggil saya dengan nama pendek tersebut.
Berbeda dengan sebagian orang, masa kecil saya tidak dilewati di kota kelahiran saya. Dahulu kala Ibunda masih aktif bekerja di Universitas Indonesia. Hal inilah yang membawa saya menjauhi ibukota Jakarta yang ramai dan mengasingkan diri dengan kedamaian kota kecil Depok.
Rumah pertama saya terletak di sebuah perumahan bernama Depok Lama Alam Permai. Saya meninggali rumah tersebut saat saya masih sangat kecil, bahkan sebelum saya menginjak jenjang pendidikan Taman Bermain. Satu-satunya hal yang saya ingat mengenai rumah tersebut adalah terdapatnya banyak katak di taman belakangnya, yang membuat saya sebagai balita ketakutan bukan main.
Kehidupan saya di Depok Lama Alam Permai diakhiri dengan datangnya keluarga paman dari Meksiko. Keluarga ini berniat menggantikan keluarga saya untuk tinggal di rumah tersebut. Dengan perasaan yang sudah tidak saya ingat lagi, saya sekeluarga pindah ke sebuah rumah di kompleks yang bernama Pesona Depok.
Saya masih ingat bahwa rumah baru saya ini berwarna putih, dan bernomor W7. Pada masa itu, saya masih berumur kurang lebih 1 tahun. Karena tidak memiliki aktivitas yang cukup, saya mengisi hari-hari saya dengan menumpang bermain di sekolah seberang rumah yang terdiri dari Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak. Sekolah ini bernama Al-Fauzien.
Kebiasaan bermain di sekolah yang saya sendiri bahkan tidak terdaftar sebagai muridnya pun berlanjut. Secara langsung, tidak ada yang menegur perbuatan saya. Tetapi ibu saya sadar bahwa hal ini kurang senonoh, dan bergegas mendaftarkan saya sebagai murid di Kelompok Bermain meskipun saya masih berusia 1 tahun 8 bulan.
Sampai hari ini saya tidak mengerti apakah saat kecil saya memang merupakan seorang yang pendiam, atau hal berikut disebabkan karena usia saya yang terlalu dini untuk menjadi seorang siswi Kelompok Bermain. Tetapi, rapor pertama saya berisi komentar para guru yang berkata bahwa saya merupakan murid yang terlalu pendiam. Saya terkejut saat Ibunda menceritakan kejadian ini saat saya sudah memasuki masa remaja. “Pas kecil kamu pemalu, dan jarang nangis,” sebut beliau. Kebingungan saya disebabkan bahwa di masa kini saya sama sekali tidak merasa pendiam. Terlebih lagi, orang-orang disekitar saya juga mengakui itu.
Lulus dari Kelompok Bermain, kedua orangtua memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Taman Kanak-Kanak saya di sekolah yang sama. Keputusan ini tidak berarti bahwa kedua orangtua saya memaksakan kehendak terhadap putri mereka, namun tentunya saat itu saya belum cukup dewasa untuk menentukan sekolah mana yang pantas saya tuju.
Sebagai jalan keluar dari kekalahannya dalam berdebat, Ibunda pun memanggil saya dengan nama "Ella" yang berasal dari kata "Isabella". Mendengar ide ini, Ayahanda pun tidak dapat berkutik dan turut memanggil saya dengan nama pendek tersebut.
Berbeda dengan sebagian orang, masa kecil saya tidak dilewati di kota kelahiran saya. Dahulu kala Ibunda masih aktif bekerja di Universitas Indonesia. Hal inilah yang membawa saya menjauhi ibukota Jakarta yang ramai dan mengasingkan diri dengan kedamaian kota kecil Depok.
Rumah pertama saya terletak di sebuah perumahan bernama Depok Lama Alam Permai. Saya meninggali rumah tersebut saat saya masih sangat kecil, bahkan sebelum saya menginjak jenjang pendidikan Taman Bermain. Satu-satunya hal yang saya ingat mengenai rumah tersebut adalah terdapatnya banyak katak di taman belakangnya, yang membuat saya sebagai balita ketakutan bukan main.
Kehidupan saya di Depok Lama Alam Permai diakhiri dengan datangnya keluarga paman dari Meksiko. Keluarga ini berniat menggantikan keluarga saya untuk tinggal di rumah tersebut. Dengan perasaan yang sudah tidak saya ingat lagi, saya sekeluarga pindah ke sebuah rumah di kompleks yang bernama Pesona Depok.
Saya masih ingat bahwa rumah baru saya ini berwarna putih, dan bernomor W7. Pada masa itu, saya masih berumur kurang lebih 1 tahun. Karena tidak memiliki aktivitas yang cukup, saya mengisi hari-hari saya dengan menumpang bermain di sekolah seberang rumah yang terdiri dari Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak. Sekolah ini bernama Al-Fauzien.
Kebiasaan bermain di sekolah yang saya sendiri bahkan tidak terdaftar sebagai muridnya pun berlanjut. Secara langsung, tidak ada yang menegur perbuatan saya. Tetapi ibu saya sadar bahwa hal ini kurang senonoh, dan bergegas mendaftarkan saya sebagai murid di Kelompok Bermain meskipun saya masih berusia 1 tahun 8 bulan.
Sampai hari ini saya tidak mengerti apakah saat kecil saya memang merupakan seorang yang pendiam, atau hal berikut disebabkan karena usia saya yang terlalu dini untuk menjadi seorang siswi Kelompok Bermain. Tetapi, rapor pertama saya berisi komentar para guru yang berkata bahwa saya merupakan murid yang terlalu pendiam. Saya terkejut saat Ibunda menceritakan kejadian ini saat saya sudah memasuki masa remaja. “Pas kecil kamu pemalu, dan jarang nangis,” sebut beliau. Kebingungan saya disebabkan bahwa di masa kini saya sama sekali tidak merasa pendiam. Terlebih lagi, orang-orang disekitar saya juga mengakui itu.
Lulus dari Kelompok Bermain, kedua orangtua memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Taman Kanak-Kanak saya di sekolah yang sama. Keputusan ini tidak berarti bahwa kedua orangtua saya memaksakan kehendak terhadap putri mereka, namun tentunya saat itu saya belum cukup dewasa untuk menentukan sekolah mana yang pantas saya tuju.
Menurut pendapat saya, prioritas masa TK bukanlah institusi mana yang dituju, tapi bahagia atau tidaknya masa TK seseorang. Seingat saya, dengan memori yang sudah cukup pudar, saya cukup bahagia di masa TK saya. Yang perlu dipikirkan pada masa tersebut adalah membaca dan menulis huruf latin, membaca Iqra, dan bersenang-senang.
Foto-foto Masa Balita
MASA SD
Puas dengan kedamaian kota Depok, saya sekeluarga akhirnya pindah kembali ke Jakarta. Tadinya Ibunda hampir memutuskan untuk menetap di Depok, tapi akhirnya beliau yakin bahwa pendidikan di ibukota jauh lebih baik.
Sebagai permulaan, orangtua mendaftarkan saya di SD Islam Al-Azhar Pusat, Kebayoran Baru. Sampai sekarang saya masih ingat tes pendaftarannya berlangsung lancar. Sayangnya karena di bulan Juli 2002 umur saya belum mencapai 6 tahun, saya dijadikan calon murid cadangan.
Tanpa menunggu lama saya pun secara resmi diterima sebagai murid SD Islam Al-Azhar Pusat, angkatan ke 39. Permulaan hidup saya di Jakarta bermulai dengan tinggal di Apartemen Ambassador, Karet Kuningan. Sebenarnya orangtua lebih suka tinggal di sebuah rumah alih-alih apartemen, namun saat itu rumah yang diminati masih dalam proses pembangunan. Akhirnya untuk sementara saya pun menikmati apartemen yang terletak di atas pusat perbelanjaan Mal Ambassador. Hal tersebut sangat menyenangkan, karena setiap saya merasa bosan saya hanya perlu mengajak seseorang yang dewasa untuk menemani saya berkeliling di mal atau bermain-main di fasilitas-fasilitas apartemen. Sebenarnya secara pribadi saya lebih senang bertempat tinggal di apartemen, tapi apalah arti dari sebuah opini seorang anak yang dianggap belum cukup dewasa untuk menentukan tempat tinggal terbaik.
Sebagai permulaan, orangtua mendaftarkan saya di SD Islam Al-Azhar Pusat, Kebayoran Baru. Sampai sekarang saya masih ingat tes pendaftarannya berlangsung lancar. Sayangnya karena di bulan Juli 2002 umur saya belum mencapai 6 tahun, saya dijadikan calon murid cadangan.
Tanpa menunggu lama saya pun secara resmi diterima sebagai murid SD Islam Al-Azhar Pusat, angkatan ke 39. Permulaan hidup saya di Jakarta bermulai dengan tinggal di Apartemen Ambassador, Karet Kuningan. Sebenarnya orangtua lebih suka tinggal di sebuah rumah alih-alih apartemen, namun saat itu rumah yang diminati masih dalam proses pembangunan. Akhirnya untuk sementara saya pun menikmati apartemen yang terletak di atas pusat perbelanjaan Mal Ambassador. Hal tersebut sangat menyenangkan, karena setiap saya merasa bosan saya hanya perlu mengajak seseorang yang dewasa untuk menemani saya berkeliling di mal atau bermain-main di fasilitas-fasilitas apartemen. Sebenarnya secara pribadi saya lebih senang bertempat tinggal di apartemen, tapi apalah arti dari sebuah opini seorang anak yang dianggap belum cukup dewasa untuk menentukan tempat tinggal terbaik.
Sampai detik ini saya masih ingat hari pertama SD saya secara rinci. Pada hari tersebut, ayah saya berada di luar kota sehingga di malam itu saya tidur berdua dengan Ibunda di kamar orangtua. Tetapi sebenarnya pada masa tersebut, andai Ayahanda sedang tidak berpergian pun saya akan tetap tidur di kamar orangtua. Patut diakui saya memang merupakan seorang yang penakut.
Di pagi hari itu saya dan Ibunda bangun cukup terlambat, sehingga saya mengalami pagi pertama yang terburu-buru. Ibu saya yang sangat saya percaya membantu bersiap-siap untuk hari besar tersebut. Percaya kepada seseorang merupakan sesuatu yang baik, bahkan mulia. Namun terkadang karena hal ini kita harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh orang yang kita percaya.
Beberapa saat kemudian saya sudah terduduk manis di jok depan mobil, mendampingi Ibunda yang menyetir. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati. Saya yakin ada sesuatu yang kurang. Berseragam dan membawa tas sekolah baru, apalagi yang kurang? Saya bertanya-tanya sepanjang jalan, meskipun tidak berkata langsung kepada Ibunda. Pada masa tersebut saya tidak cukup berani menyuarakan pendapat saya kepada orang lain. Seperti kata kakek saya, “Dulu saat SD, Ella pendiam dan pemalu.”
Akhirnya, saya pun tersadar; yang hilang dari pandangan adalah dasi. Saya yang sering bertemu dengan sepupu-sepupu murid Al-Azhar mengetahui jelas bahwa setiap hari Senin, salah satu atribut yang dipakai adalah dasi hijau ciri khas sekolah tersebut.
Dengan panik saya memberitahu ibu saya. Beliau mencoba menenangkan, dan membeli dasi baru di koperasi sekolah saat saya sampai. Seperti mayoritas ibu lainnya, Ibunda menetap di sekolah pada hari pertama SD saya. Hari itu pun berjalan dengan lancar.
Memori lain yang masih tertanam pada diri saya sampai sekarang adalah perpindahan tempat tinggal saat saya SD. Menduduki kelas 3, saya pindah ke rumah nenek di dekat Al-Azhar Pusat. Harapannya adalah agar saya semakin tepat waktu berangkat ke sekolah. Sayangnya lokasi yang dekat mengubah saya menjadi lebih malas. Akibatnya tahun ajaran tersebut merupakan tahun dimana saya paling sering terlambat sekolah.
Naik ke kelas 4, akhirnya rumah yang saat saya pindah ke Jakarta masih dalam tahap pembangunan sudah siap ditinggali. Saya pindah ke rumah tersebut yang terletak di Pakubuwono. Sampai saat menjelang kelulusan SD, saya pindah lagi ke rumah yang masih saya tinggali sampai sekarang. Rumah ini berlokasi di daerah Senopati.
Angkatan saya merupakan angkatan pertama yang salah satu syarat kelulusannya adalah melewati UASBN. Entah mengapa, kami para murid kelas 6 tidak terlalu panik dengan fakta ini. Kami mempersiapkan ujian ini dengan santai. Meskipun akhirnya kami seangkatan lulus 100%, mayoritas hasilnya tidak terlampau memuaskan.
Foto-foto Masa SD
Penasaran, saya bertanya kepada Ayah tentang bagaimanakah sifat saya dahulu saat SMP. “Baik terhadap orang lain,” jawab beliau. Saya pun hanya dapat tertawa mendengarnya, mempertanyakan kebenaran jawaban tersebut dalam hati.
Melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, SMP Labschool Kebayoran merupakan sekolah yang saya percaya untuk pendidikan saya. Tekad untuk memasuki sekolah ini telah muncul dari permulaan kelas 6 SD. Saya pun termasuk salah satu dari mereka yang bergegas mendaftarkan diri saat pendaftarannya telah dibuka. Saat melaksanakan tes pendaftarannya, saya mencoba untuk optimis. Namun menunggu hasil tes tidak terasa terlalu menegangkan, dan hasilnya pun baik; saya diterima sebagai murid SMP Labschool Kebayoran, angkatan ke 8.
Hari pertama saya memasuki sekolah ini sebagai murid secara resmi adalah masa Pra-MOS. Rasa ketakutan atas masa orientasi dan kakak-kakak kelasnya yang saya rasakan di hari-hari menjelang hari besar itu masih terngiang di kepala saya. Tetapi waktu terus berjalan, dan akhirnya datanglah hari yang dinanti.
Melangkah masuk ke dalam area sekolah pada pagi itu, saya dinanti oleh beberapa guru dan perwakilan OSIS serta MPK. Momen itu merupakan perkenalan pertama saya kepada budaya Labschool. Saya bersalaman dengan salam khas sekolah tersebut. Setelah melewati barisan sambutan, saya mencoba mencerna apa yang baru saja saya alami. Salaman tadi terasa aneh.
Ibunda mengantar saya masuk ke plaza, membantu mencari kelompok MOS saya. Setelah itu pun beliau mengucapkan sekalimat harapan semoga sukses dan pergi berbalik menuju pintu keluar. Berdiri sendiri, saya mencoba mengikuti acara dengan baik.
Selesainya satu minggu berorientasi dengan sekolah baru membuktikan bahwa MOS tidak seburuk yang saya kira. Patut diakui saya cukup tercenggang dengan budaya sekolah ini. Misalnya saja saya baru mengetahui bahwa selama tiga tahun kedepan saya akan bersekolah dengan sistem moving class saat saya menjalani Pra-MOS. Saya akhirnya menyadari, hidup memang penuh kejutan.
Tidak hanya budaya, kewajiban yang berlimpah juga saya sadari saat memulai pembelajaran. Dari jumlah pekerjaan rumah sampai rutinitas aktivitas non-akademik semuanya terasa seperti dilipatgandakan saat beralih ke SMP. Pengalaman dimulai di kelas 7, dimana memori dari masa tersebut sangat dirindukan sampai sekarang.
Momen lari pagi pertama saya masih terbayang di kepala. Hari itu merupakan hari Jumat yang sekaligus merupakan hari terakhir MOS. Saya masih menggunakan nametag hasil perjuangan dengan bantuan Ibunda, dan rambut saya terkuncir 2 dengan pita serta karet rambut berwarna hijau muda.
Sebenarnya rambut saya dan siswi-siswi seangkatan yang tidak berjilbab masih terkuncir 6 di 3 hari pertama MOS. Menurut pendapat saya, kunciran 6 ini sekilas terlihat seperti kepiting berpita warna-warni. Untungnya karena angkatan saya sudah melaksanakan MOS dengan lebih baik, kami para perempuan tanpa jilbab diberikan kemudahan untuk cukup dikuncir 2 saja di 2 hari terakhir pelaksanaan masa orientasi tersebut.
Lari pagi pertama saya terasa terlampau melelahkan. Padahal jika dilihat sekarang, lari pagi SMP terasa seperti lari santai dengan jarak cukup pendek. Tetapi cara pandang saya terhadap lari pagi SMP sekarang dan dulu sangat berbeda.
Perut saya sudah melilit di pertengahan jalan berlari. Saya akhirnya berjuang melawan secercah keinginan untuk melapor sakit kepada pengurus OSIS. Saya memutuskan untuk mencoba kuat dan tidak menyerah sampai tingkat kesakitan saya kritis. Perjuangan ini pun berakhir dengan kesuksesan yang membanggakan.
Naik ke kelas 8, saya dan teman-teman sudah mulai terbiasa dengan keadaan SMP. Kelas sudah mulai terasa kompak sehingga sekolah terasa menyenangkan. Rasa solidaritas yang kuat pun akhirnya muncul dalam angkatan kami. Forum angkatan sering diadakan untuk mengatasi konflik-konflik yang tidak terhitung jumlahnya, menjadi salah satu kegiatan yang membuat kami semakin solid.
Hari pertama saya memasuki sekolah ini sebagai murid secara resmi adalah masa Pra-MOS. Rasa ketakutan atas masa orientasi dan kakak-kakak kelasnya yang saya rasakan di hari-hari menjelang hari besar itu masih terngiang di kepala saya. Tetapi waktu terus berjalan, dan akhirnya datanglah hari yang dinanti.
Melangkah masuk ke dalam area sekolah pada pagi itu, saya dinanti oleh beberapa guru dan perwakilan OSIS serta MPK. Momen itu merupakan perkenalan pertama saya kepada budaya Labschool. Saya bersalaman dengan salam khas sekolah tersebut. Setelah melewati barisan sambutan, saya mencoba mencerna apa yang baru saja saya alami. Salaman tadi terasa aneh.
Ibunda mengantar saya masuk ke plaza, membantu mencari kelompok MOS saya. Setelah itu pun beliau mengucapkan sekalimat harapan semoga sukses dan pergi berbalik menuju pintu keluar. Berdiri sendiri, saya mencoba mengikuti acara dengan baik.
Selesainya satu minggu berorientasi dengan sekolah baru membuktikan bahwa MOS tidak seburuk yang saya kira. Patut diakui saya cukup tercenggang dengan budaya sekolah ini. Misalnya saja saya baru mengetahui bahwa selama tiga tahun kedepan saya akan bersekolah dengan sistem moving class saat saya menjalani Pra-MOS. Saya akhirnya menyadari, hidup memang penuh kejutan.
Tidak hanya budaya, kewajiban yang berlimpah juga saya sadari saat memulai pembelajaran. Dari jumlah pekerjaan rumah sampai rutinitas aktivitas non-akademik semuanya terasa seperti dilipatgandakan saat beralih ke SMP. Pengalaman dimulai di kelas 7, dimana memori dari masa tersebut sangat dirindukan sampai sekarang.
Momen lari pagi pertama saya masih terbayang di kepala. Hari itu merupakan hari Jumat yang sekaligus merupakan hari terakhir MOS. Saya masih menggunakan nametag hasil perjuangan dengan bantuan Ibunda, dan rambut saya terkuncir 2 dengan pita serta karet rambut berwarna hijau muda.
Sebenarnya rambut saya dan siswi-siswi seangkatan yang tidak berjilbab masih terkuncir 6 di 3 hari pertama MOS. Menurut pendapat saya, kunciran 6 ini sekilas terlihat seperti kepiting berpita warna-warni. Untungnya karena angkatan saya sudah melaksanakan MOS dengan lebih baik, kami para perempuan tanpa jilbab diberikan kemudahan untuk cukup dikuncir 2 saja di 2 hari terakhir pelaksanaan masa orientasi tersebut.
Lari pagi pertama saya terasa terlampau melelahkan. Padahal jika dilihat sekarang, lari pagi SMP terasa seperti lari santai dengan jarak cukup pendek. Tetapi cara pandang saya terhadap lari pagi SMP sekarang dan dulu sangat berbeda.
Perut saya sudah melilit di pertengahan jalan berlari. Saya akhirnya berjuang melawan secercah keinginan untuk melapor sakit kepada pengurus OSIS. Saya memutuskan untuk mencoba kuat dan tidak menyerah sampai tingkat kesakitan saya kritis. Perjuangan ini pun berakhir dengan kesuksesan yang membanggakan.
Naik ke kelas 8, saya dan teman-teman sudah mulai terbiasa dengan keadaan SMP. Kelas sudah mulai terasa kompak sehingga sekolah terasa menyenangkan. Rasa solidaritas yang kuat pun akhirnya muncul dalam angkatan kami. Forum angkatan sering diadakan untuk mengatasi konflik-konflik yang tidak terhitung jumlahnya, menjadi salah satu kegiatan yang membuat kami semakin solid.
2 tahun kebersamaan cukup untuk membangun angkatan kami kokoh. Hasil pemilihan bersama pun meresmikan kami bernama Scavolendra Talvoreight pada hari Jumat, 3 September 2010. Kedua kata pilihan tersebut merupakan gabungan dari bahasa berbagai negara dengan arti delapan adalah entititas khas yang menghasilkan sebuah cerita tanpa akhir.
Masa SMP saya diakhiri dengan mempersiapkan UAN. Persiapan ini tidak akan mudah dilupakan, mengingat betapa serius pelaksanaannya dan sejumlah pengalaman yang telah dilewati dalam prosesnya. Pada hari Sabtu, 4 Juni 2011 Scavolendra dan murid kelas 9 pelaksana UAN lain di tanah air mengetahui hasil jerih payah kami. Setelah shalat tahajjud dan duha yang tidak terhitung lagi jumlahnya, Allah SWT memberikan saya hasil terbaik sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Kami seangkatan lulus 100% dengan nilai yang sangat memuaskan, lebih baik dari saat SD di masa lalu.
Foto-foto Masa SMP
0 comments:
Post a Comment